Di suatu sore yang agak gerimis tapi tidak sampai basah, saya duduk di bangku kecil di halaman rumah sambil menunggu anak-anak tetangga berkumpul. Biasanya kami berkumpul untuk bermain, tapi hari itu rencananya adalah sesi mendongeng. Ada yang membawa selimut, ada yang bawa cemilan, dan ada seorang bapak yang tiba-tiba jadi sukarelawan untuk jadi “lampu ajaib”—bukan lampu sihir, cuma senter. Suasana sederhana itu selalu terasa seperti sebuah panggung kecil yang hangat; yah, begitulah, saya sering merasa halaman rumah bisa menjadi tempat belajar yang jauh lebih hidup daripada ruang kelas yang sunyi.
Ngobrol, Ketawa, dan Cerita — Gaya Santai yang Menyatu
Mendongeng di halaman bukan soal siapa yang paling pintar bercerita, melainkan soal bagaimana cerita itu membentuk kebersamaan. Saya suka memulai dengan cerita ringan: legenda pohon beringin di kampung kami, atau kisah si kancil yang nakal. Anak-anak merespons dengan tawa, pertanyaan-pertanyaan polos, dan kadang mereka menambah detail sendiri sampai cerita berubah total. Metode ini membuat mereka aktif mendengarkan sekaligus berimajinasi — tanpa tekanan ujian atau tugas rumah. Kadang ada yang menirukan suara binatang, ada yang pura-pura jadi pahlawan, dan dari situ saya tahu pembelajaran sedang terjadi dengan cara yang sangat alami.
Mendongeng sebagai Warisan Budaya (cukup serius nih)
Selain permainan, mendongeng juga tugas penting dalam merawat budaya. Cerita rakyat, mitos, dan lagu-lagu lama adalah jembatan antar generasi. Ketika saya mendorong tetangga tua untuk bercerita tentang masa kecilnya, mereka membawa kita kembali ke kebiasaan, ritual, dan nilai-nilai yang mungkin terlupakan. Ini bukan sekadar nostalgia; ini cara praktis untuk menanamkan identitas. Bahkan organisasi komunitas seperti labuca mendukung inisiatif semacam ini karena keterlibatan komunitas memberi ruang bagi tradisi lisan untuk tetap hidup.
Belajar Tanpa Seragam: Pendidikan Non-Formal di Halaman
Pendidikan non-formal sering disalahpahami sebagai ‘bukan pendidikan serius’, padahal di halaman itulah anak-anak belajar keterampilan penting: berbicara di depan umum, bekerja sama, memecahkan masalah saat adegan cerita berubah kacau, atau mengatur giliran. Saya ingat waktu kami bermain drama kecil dari dongeng, seorang anak yang biasanya pemalu tiba-tiba memimpin dialog—semua berkat suasana yang tidak menghakimi. Hal-hal seperti empati, keberanian, dan kreativitas muncul tanpa harus masuk kurikulum resmi. Itu membuat saya percaya bahwa pendidikan harus inklusif; halaman bisa jadi ruang belajar yang setara, bahkan lebih humanis.
Nih, Kenapa Penting — Pikiran Santai tapi Tegas
Ada nilai praktis lain yang sering saya sebut saat mengajak orang-orang ikut mendongeng: murah meriah dan mudah diakses. Tidak perlu banyak alat, hanya cerita yang baik dan orang yang mau mendengarkan. Di lingkungan urban sekalipun, kami bisa memanfaatkan taman kecil, trotoar, atau halaman apartemen. Aktivitas ini juga menyatukan generasi; kakek-nenek sering menjadi ‘arkitek’ cerita paling berbobot, sementara cucu menjadi kritikus paling jujur. Hasilnya: komunitas yang lebih rapat, anak-anak yang lebih berani berbicara, dan budaya lokal yang tetap bernapas.
Saya sendiri selalu pulang dari sesi mendongeng dengan perasaan hangat. Seringkali saya menulis potongan cerita di buku catatan kecil untuk dikembangkan lagi. Kadang saya gagal menghibur, kadang ada momen magis ketika semua mata terpaku dan dunia terasa berhenti sejenak. Itulah kenapa saya terus kembali: bukan karena saya ingin jadi pencerita hebat, melainkan karena saya percaya bahwa ruang seperti halaman bisa menjadi sekolah hidup yang sederhana tapi penuh makna.
Kalau kamu belum pernah mencoba, ajaklah beberapa orang dan mulai saja. Tidak perlu skenario sempurna; cukup sebuah cerita yang kamu sayangi. Siapa tahu dari situ tumbuh komunitas baru, atau setidaknya sebuah sore yang dikenang. Yah, begitulah — sederhana tapi bermakna.