Malam Seni di Desa: Workshop Kreatif, Teater Jalanan dan Kelas Belajar
Malam itu, udara desa terasa beda — hangat bukan cuma karena udara, tapi karena gelak, kegembiraan, dan lampu yang dipasang seadanya. Aku datang dengan sepatu yang masih bau kabin motor dan kepala penuh rasa penasaran. Jangan bayangkan acara formal dengan kursi rapi dan MC pakai jas; ini lebih mirip reuni besar yang kebetulan membawa cat, kostum kardus, dan papan tulis. Tulisan ini kayak catatan harian, bukan laporan resmi. Jadi santai aja, ayo ikut cerita.
Workshop: Mainan Tanpa Label, Kreatif Tanpa Syarat
Workshop dimulai di balai desa yang lantainya entah kenapa selalu berasa keren. Meja-meja dipenuhi kertas bekas, cat akrilik, sisa kain, dan segala sesuatu yang bisa disulap jadi barang baru. Fasilitatornya bukan dosen galak, melainkan seniman lokal yang lebih sering bilang, “Coba aja, kalau gagal kita tertawa bareng.” Yang datang juga campur—anak SD yang tangannya masih klek-klek, ibu-ibu yang jago motong kain, remaja yang lagi iseng, sampai bapak-bapak yang awalnya cuma mau nonton lalu malah jadi model patung tanah liat.
Ada rasa belajar yang beda: tanpa PR, tanpa ujian, hanya eksperimen. Seorang teman menempel kertas bekas koran jadi topeng, terus dipakai anak-anak buat nari-nari konyol. Kita saling tukar teknik, saling memuji bahkan untuk coretan paling sederhana. Intinya, malam itu mengajarkan ulang bahwa kreativitas gak pake aturan kaku — modalnya cuma keberanian dan secangkir kopi kopi sisa acara sebelumnya.
Teater Jalanan: Drama, Ketawa, dan Mampusnya Malu
Setelah workshop, panggung berpindah ke jalan kecil di depan balai. Yang bikin seru: panggungnya ya jalan itu sendiri. Penonton duduk di emperan toko, di atas atap sepeda, atau berdiri sambil makan jagung. Kami menonton teater jalanan yang pemainnya warga lokal. Ceritanya? Tentang kehidupan sehari-hari yang digulung jadi lucu, kocak, kadang nyentil realita—ada adegan bapak-bapak salah naik sepeda karena lupa pakai sandal, ada juga sindiran halus soal birokrasi desa. Yang paling greget, penonton bisa diajak improvisasi; tiba-tiba ada bapak-bapak yang diseret jadi pemeran tambahan karena bawa payung. Gak ada malu-maluin, yang ada malah tertawa bareng sampai perut keram.
Sesi ini juga ngajarin satu hal: teater jalanan bikin seni jadi milik semua orang. Gak perlu tiket mahal atau kursi VIP. Seni mendadak makan malam bareng kita, ngobrol sampai larut, dan bikin pulang merasa sedikit lebih berani untuk pamer kreativitas di depan tetangga. Di tengah malam, aku sempat browsing info lebih lanjut soal komunitas seni yang datang, dan nemu labuca — tempat yang kayaknya sering ngajarin hal serupa di kota-kota lain.
Kelas Belajar (yang gak kaya sekolah beneran)
Ada juga kelas kecil-kecilan: belajar menulis puisi di bawah lampu minyak, belajar fotografi pakai ponsel, sampai kelas bahasa isyarat singkat. Aku ikut kelas menulis puisi karena penasaran bisa ga nulis sesuatu yang bukan cuma caption Instagram. Guru kecilnya mengajarkan teknik sederhana: ambil kata dari sekitar — bunyi ayam, bau kopi, ritme malam. Kami diminta menulis lima baris dalam lima menit. Hasilnya? Lucu-lucu dan ada yang beneran menyentuh. Salah satu peserta, nenek yang biasanya cuma dengerin radio, menulis baris yang bikin semua orang terdiam sebentar. Itu momen yang bikin aku nyadar: pengetahuan dan seni itu bisa disalurkan lewat ruang kecil tanpa tekanan formal, dan tiap orang berhak ngasih suaranya.
Di kelas fotografi, instruktur ngajarin framing pakai benda sekitar: gerobak, kursi, pola bayangan. Peserta yang awalnya ragu malah jadi semangat mencoba angle aneh-aneh. Tujuan malam itu bukan jadi profesional instan, tapi membuat orang berani mencoba, gagal, dan ketawa lagi. Pendidikan non-formal seperti ini menyenangkan karena adaptif: cepat, relevan, dan langsung dipraktikkan.
Ketika acara selesai, jalanan masih penuh obrolan. Beberapa orang pulang bawa karya—topeng, foto, puisi—sebagai bukti bahwa malam itu nyata. Yang paling berkesan adalah suasana kebersamaan: anak-anak yang biasanya pulang jam delapan beda lagi ceritanya malam itu; mereka pulang dengan mata berbinar dan cerita konyol tentang ikut pentas. Aku pulang dengan perasaan ringan, kepala penuh ide aneh, dan keinginan untuk ikut lagi. Kalau ada yang bilang desa itu sunyi, malam seni ini jawabannya: desa bisa jadi panggung, ruang kelas, dan studio seni sekaligus. Sampai jumpa di malam seni selanjutnya — aku bawa cat, kamu bawa selera humor, kita bikin sesuatu yang nggak akan dilupain dalam waktu dekat.