Ketika Wayang Bertemu Workshop: Catatan dari Kelas Seni Nonformal

Ketika pertama kali duduk di bangku workshop itu, saya kira akan jadi sesi “belajar wayang” yang datar dan penuh teori. Ternyata salah. Ruang kecil di lantai dua sebuah gedung komunitas itu penuh kabut cat, kertas, tawa, dan suara gamelan digital dari laptop yang dipinjam. Di sana, wayang tidak cuma dipelajari—wayang diajak ngobrol. Saya pulang dengan tangan bernoda, kepala penuh ide, dan perasaan hangat seperti baru minum kopi panas di pagi hujan.

Kenalan Dulu: Wayang, Tapi Bukan yang Biasa

Wayang, bagi banyak orang, adalah siluet kulit yang bergerak di balik lampu. Namun di workshop ini, wayang hadir dalam banyak rupa: boneka kertas, wayang kertas modern, wayang bayangan yang disambung dengan proyektor, bahkan kolase visual yang mengambil inspirasi tokoh-tokoh klasik. Kami dibimbing oleh dalang yang juga ilustrator—orang yang tahu cara membuat arjuna tersenyum lewat goresan tinta maupun dialog spontan.

Ada momen lucu ketika seorang peserta yang baru pertama kali pegang pisau cutter menggumam, “Ternyata memotong kulit itu menakutkan—tapi seru.” Itulah intinya: menyentuh langsung benda budaya membuatnya terasa hidup. Dan kalau kamu penasaran, saya pernah menemukan info kegiatan semacam ini lewat labuca, sebuah jaringan yang sering memfasilitasi kelas-kelas seni nonformal.

Workshop: Ruang Belajar yang Longgar dan Berbau Cat

Salah satu yang saya sukai dari kelas nonformal adalah struktur yang longgar. Tidak ada kurikulum kaku, tidak ada nilai ujian, hanya target sederhana: bereksperimen, berkolaborasi, berefleksi. Instruktur lebih seperti teman yang memandu. Mereka memberi prompt—”Buatlah tokoh wayang yang mewakili perasaanmu hari ini”—dan kemudian kita bebas. Hasilnya? Ada yang membuat tokoh marah berbulu ungu, ada yang membuat tokoh sedang kedinginan karena rindu; semuanya sah.

Metode pembelajaran juga variatif. Ada sesi demonstrasi, tapi lebih banyak sesi praktek. Ada peer review yang santai—kita saling memberi masukan seperti sahabat yang jujur tapi tidak menghina. Ada juga permainan cerita improvisasi yang memaksa kita bergerak, berbicara, dan memakai tubuh sebagai alat ekspresi. Intinya, pembelajaran menjadi aktif, bukan konsumtif.

Dari Kelopak Mata Hingga Gamelan: Praktik yang Bikin Melek

Seni tradisi tidak selamanya harus dipertahankan dalam bentuk puritan. Di workshop itu, kombinasi teknik lama dan baru justru membuka jalan baru. Misalnya, salah satu kelompok memproyeksikan siluet wayang ke tembok lalu menambahkan animasi sederhana lewat aplikasi. Hasilnya: penonton yang biasanya duduk pasif justru ikut bereaksi, tertawa, bahkan menyalin gerakan.

Selain teknik, ada juga pelajaran empati. Ketika kita diminta menulis monolog dari sudut pandang tokoh yang “terpinggirkan” dalam cerita Mahabharata, suasana jadi serius. Peserta yang biasanya cerewet malah menunduk, menulis dengan hati-hati. Praktik semacam ini menumbuhkan kemampuan mendengar, membaca konteks, dan memahami narasi dari berbagai sisi—keterampilan penting di luar dunia seni juga.

Kenapa Ini Penting? Spoiler: Bukan Cuma Tentang Wayang

Jika ditanya, “Kenapa kita butuh workshop semacam ini?” jawabannya sederhana: karena budaya hidup saat disentuh. Nonformal education menyediakan ruang aman bagi kreativitas; ia merangkul kesalahan sebagai bahan belajar; ia menghargai proses lebih dari hasil. Di sisi komunitas, kegiatan ini merekatkan orang-orang lintas usia—anak remaja yang baru belajar menggambar duduk berdampingan dengan pensiunan yang pernah menonton pertunjukan wayang sejak muda.

Bukan hanya soal melestarikan artefak budaya. Ini tentang mentransformasi warisan menjadi bahan bakar sehari-hari: bahan untuk empati, kreativitas, dan kerja kolektif. Ketika seorang anak kecil yang awalnya takut bicara lewat pertunjukan boneka akhirnya berani tampil di depan sepuluh orang, ada dampak sosial yang jauh melampaui estetika. Rasa percaya diri tumbuh. Jaringan dukungan muncul. Kota kecil terasa lebih hidup.

Keluar dari workshop, saya membawa sepotong kecil wayang—bukan yang sempurna, tetapi penuh cerita. Di jalan pulang, saya tersenyum sendiri membayangkan dialog absurd antara tokoh klasik dan barista kafe. Seni nonformal membuat budaya terasa dekat dan relevan. Itu yang membuat saya ingin kembali lagi, membawa teman, dan mengajak lebih banyak orang untuk ikut ngoprek, ngobrol, dan berkreasi bersama.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *