Kampung yang Berubah Jadi Kelas
Beberapa tahun lalu aku bolak-balik ke sebuah kampung kecil di pinggiran kota. Awalnya cuma numpang nyanyi dalam reuni keluarga, tapi lama-lama jadi tempat ngumpul tiap akhir pekan. Yang menarik bukan cuma rumahnya yang beralaskan papan tua atau halaman yang dipenuhi kembang telang, melainkan cara orang-orang di situ membuat ruang hidup jadi ruang belajar. Dari teras rumah, gang sempit, sampai balai desa — semuanya bisa berubah jadi kelas.
Serius: Seni dan Budaya Sebagai Kurikulum Hidup
Di sana, pelajaran bukan selalu datang dari buku. Ada bapak-bapak penabuh gamelan yang mulai mengajari anak-anak memainkan kendang tiap sore. Ada nenek-nenek yang masih piawai menjahit, sambil bercerita tentang motif batik yang diwariskan dari atoknya. Aku duduk di bangku kayu, mendengar bunyi gong berbaur dengan bau kopi panas — sederhana tapi kaya makna. Seni tradisi jadi cara meneruskan bahasa budaya yang tak bisa dituliskan dalam silabus formal.
Saat anak-anak menirukan gerak tari, aku sadar pendidikan nonformal seperti ini punya nilai yang serius: membentuk identitas, mengajarkan kesabaran, melatih kerja sama. Bukan hanya “kegiatan positif” yang dicap oleh orang luar, tapi ruang tumbuh bagi anak-anak yang mungkin tidak cocok dengan model sekolah konvensional. Mereka belajar menghargai proses, bukan sekadar hasil ujian.
Ngobrol Santai di Warung: Belajar di Luar Kelas
Satu hal yang lucu: kelas-kelas ini seringkali dimulai dari percakapan santai. Di warung kopi, obrolan tentang politik berubah jadi latihan debat bagi remaja. Seorang pemuda yang dulu pemalu sekarang sering memimpin diskusi, karena berlatih berbicara di muka umum sambil menyeruput kopi pahit. Itu tidak ada di rapor, tapi jelas terlihat di kehidupan sehari-hari. Kadang aku geli melihat cara mereka menirukan guru tari dengan serius, lalu tiba-tiba meledak tawa karena salah step.
Detail kecil seperti papan tulis bekas di teras, kapur yang menempel di jari, atau tali raffia yang dipakai sebagai pengukur panjang kain—itu semua menambah warna. Kegiatan ini mengajarkan skill teknis dan juga estetika; anak-anak jadi tahu bahwa setiap benda punya cerita dan fungsi. Aku pernah menulis catatan kecil tentang komunitas ini di labuca—sebuah tempat yang menyoroti prakarsa-prakarsa lokal—karena menurutku cerita mereka patut didengar lebih luas.
Kritik dan Harapan: Lebih dari Sekadar Goodwill
Tentu, tidak semua berjalan mulus. Keterbatasan dana kerap bikin alat musik rusak tak kunjung diperbaiki, atau biaya panggung untuk pementasan tradisi selalu jadi masalah. Ada juga kekhawatiran mengenai bagaimana program nonformal sering dijadikan proyek singkat oleh pihak luar tanpa kelanjutan yang jelas. Menurutku, ini masalah klasik: niat baik tanpa perencanaan jangka panjang. Pendekatan harus inklusif dan menghormati kebijaksanaan lokal, bukan hanya menempelkan label “pemberdayaan” lalu pergi.
Yang aku harapkan adalah dukungan yang berkelanjutan—bisa berupa pelatihan teknis, akses pasar untuk kerajinan, atau fasilitasi ruang kreasi. Penting juga adanya pengakuan formal yang fleksibel; misalnya, sertifikat partisipasi yang dihargai oleh dunia kerja lokal. Dengan begitu, seni dan budaya bukan cuma kegiatan estetis, tapi juga memberi nilai ekonomi bagi warga.
Penutup yang Sederhana: Kampung Sebagai Guru
Aku sering pulang dari kampung itu dengan kepala penuh lagu-lagu baru dan tangan sedikit bernoda cat. Rasanya seperti mendapat pelajaran ekstra di luar sekolah: tentang bagaimana sebuah komunitas menata hidup bersama, bagaimana ilmu dan seni diwariskan tanpa ambil kredit, dan bagaimana pendidikan sejati sering kali muncul dari dialog kecil di teras rumah. Kampung-kampung seperti ini mengajarkan kita bahwa kelas tak harus berwujud bangunan formal; kaca jendela, tikar di lantai, atau panggung bambu juga pantas disebut kelas.
Jadi, kalau kamu sedang mencari alternatif pendidikan yang hangat dan nyata, cobalah mendengarkan cerita dari kampung. Datanglah, duduk, dan biarkan bunyi alat musik, tawa anak-anak, serta kearifan lokal mengajarkan sesuatu yang tak tercantum di kurikulum mana pun. Itu pelajaran yang, menurutku, sangat berharga.