Kisah Kegiatan Budaya dan Seni di Pendidikan Non-Formal

Kisah Kegiatan Budaya dan Seni di Pendidikan Non-Formal

Malammu terasa seperti sekilas keajaiban. Aku tidak sedang menulis laporan rapot atau nilai UTS, melainkan kisah tentang bagaimana kita belajar budaya serta seni di luar kelas formal. Pendidikan non-formal di komunitas tempatku sering terasa seperti rumah bunyi daripada rumah buku: ruangan kadang tidak rapi, lampu kadang redup, tapi energi di dalamnya bikin kita betah kembali. Pelajaran di sini bukan soal menghafal tepi buku, melainkan soal gerak, ritme, tatap mata, dan tawa pelan ketika seseorang salah menyebut motif kain atau nada terlalu tinggi. Aku ingin berbagi pengalaman sederhana tentang bagaimana kegiatan budaya dan seni membentuk cara kita melihat diri sendiri, teman, dan lingkungan sekitar, tanpa nuansa kaku yang biasa ada di daftar mata kuliah.

Belajar Batik, Bukan Hanya Coretan di Atas Kain

Pagi itu kami berkumpul di studio kain yang baunya campur lilin, keringat, dan kopi basi. Pembimbing kami, seorang ibu yang telapak tangannya pernah menari mengikuti pola, mengajarkan kami cara menggambar motif dengan canting. Ada yang rapi, ada yang buru-buru, ada juga yang sengaja bikin motif jadi abstrak. Prosesnya sabar: lilin panas, kain basah, pewarna meresap. Ketika satu kelompok tergelincir dan motifnya miring, kami tertawa keras seakan kain itu punya keluhan. Pelajaran utama: budaya hidup melalui praktik, bukan foto di feed. Kalau kita gagal motif, justru kita temukan cerita baru untuk dibawa ke kelas berikutnya.

Nonton Bareng, Belajar Bareng: Seni Pertemanan di Era Kota

Di sela-sela membatik, kami beralih ke sesi musik tradisional di aula kecil. Ketukan gangguan bisa menenangkan, atau bikin kami tertawa karena nada sumbang. Kami belajar mendengar, menunda ego, dan tetap menjaga ritme bersama. Ada diskusi soal asal-usul alat musik, arti gerak tubuh, dan bagaimana cerita bisa tersampaikan tanpa kata-kata. Di tengah obrolan, aku sempat mencari referensi lewat ponsel, lalu memutuskan untuk membuka labuca sebagai pintu masuk inspirasi proyek komunitas. Budaya hidup ketika kita mampu berbagi karya, bukan hanya membahas teori. Di ruangan itu, suasana terasa hangat meski lampu redup, dan kami merasa bagian dari sesuatu yang lebih besar daripada diri sendiri.

Memainkan Nada, Menari Ritme, Menata Rasa

Di studio drama kecil, kami latihan teater mini yang mengangkat kisah lokal: pedagang, tukang beca, anak-anak sekolah. Kami susun dialog sederhana, ekspresi lewat wajah, dan belajar menenangkan diri sebelum naik panggung. Ada yang terlalu tegas, ada yang terlalu malu-malu. Namun momen itu mengajari kami bahwa seni bukan soal kemahiran semata, melainkan empati: bagaimana kita menyajikan cerita agar orang lain merasa terpanggil. Setelah latihan, kami memeragakan potongan singkat di halaman belakang sekolah. Tanduk angin terasa, tepuk tangan menggemuruh, dan kami menyadari bahwa keberanian untuk tampil adalah hadiah yang sering kita abaikan di kelas matematika. Kami pulang dengan perut kenyang karena tawa, kelelahan, dan tekad untuk mencoba lagi besok.

Ruang Publik sebagai Kelas Terbuka

Akhir pekan kami membawa karya sederhana ke ruang publik: foto potret, lukisan kecil, dan performa musik jalanan. Edukasi non-formal membuka pintu untuk belajar temu muka, bukan sekadar membaca buku. Orang lewat berhenti, melihat, bertanya, lalu ikut meresapi. Diskusi spontan dengan warga mengajarkan kita bahwa budaya adalah dialog, bukan milik satu kelompok. Kita belajar merayakan keragaman, menggali cerita dari tetangga, dan membangun kepercayaan lewat kolaborasi. Dari pengalaman itu muncul cara baru menata materi pembelajaran supaya mudah diakses siapa saja—tanpa jargon bikin kepala pusing. Di kafe dekat persimpangan, kami menata ulang rencana proyek agar bisa dibawa pulang dan diterapkan di kampung masing-masing.

Menutup cerita, aku sadar kegiatan budaya dan seni dalam pendidikan non-formal bukan sekadar hiburan. Mereka adalah latihan hidup: merawat kreativitas, berkomunikasi tanpa mendominasi, dan menjaga semangat belajar meski hari-hari terasa biasa. Jika ada yang bertanya mengapa jalur non-formal, jawabannya sederhana: di sini kita bisa salah, tertawa, dan memulai lagi tanpa dihakimi. Dan kalau suatu saat karya kita dikenang karena hal kecil namun berarti, itu cukup membuat kita melangkah ke bab berikutnya dengan senyum.