Aku bangun lebih pagi dari biasanya, karena hari ini aku ingin menelusuri bagaimana budaya, seni, dan pendidikan nonformal saling menaut. Kamar kos terasa sejuk, tapi udara pagi membawa aroma kopi yang baru digiling, roti panggang, dan asap dari warung dekat kontrakan yang mulai buka. Aku menyiapkan tas kecil berisi pulpen, notebook, botol minum, dan penjepit rambut yang kadang kujadikan pengingat agar tidak terlalu serius di pagi hari. Jalanan belum terlalu ramai; hanya suara mesin cuci tetangga yang kadang terdengar, dering bel sekolah yang membawa kilasan memori masa kecil, dan dentingan sepeda yang menyalip di jalan berkerikil. Hari ini rencanaku sederhana, tapi punya tujuan besar: menghabiskan hari di sebuah komunitas seni yang sering menggelar workshop terbuka, menelusuri pasar budaya, dan mengikuti sesi edukasi nonformal yang tidak mengutip teori dari buku, melainkan pengalaman nyata orang-orang di sekitar. Aku merasa gugup, tentu, tapi juga bersemangat; jika bukan aku yang menaruh perhatian pada detail-detail kecil seperti warna kain batik yang pudar, atau nyanyian gamelan yang terasa seperti napas panjang kota ini, siapa lagi?
Apa arti budaya bagi kita di kehidupan sehari-hari?
Pagi itu aku berjalan ke arah pasar budaya kota yang mulai hidup. Bajaj raga pedagang memikul keranjang, langkah penari latar bergoyang ringan, dan aroma rempah bercampur dengan wangi kopi tubruk. Aku menyusuri kios-kios anyaman, kain tenun, dan kerajinan bambu; setiap barang seolah punya cerita. Seorang ibu penjual batik menunjukkan pola motif bunga kecil, katanya motif itu membawa doa-doa sabar untuk keluarga. Di sampingnya, anak-anak bermain drum tanggung sambil tertawa karena nada yang mereka mainkan tidak selaras dengan musik pengiringnya. Aku mencoba mengambil beberapa foto dengan kebebasan, tapi biarkan mata ini menjadi kata-kata yang tidak perlu diucapkan—warna-warna itu cukup untuk menceritakan pagi. Di ujung pasar aku bertemu seorang guru seni yang mengajak aku menonton latihan tari tradisional; dia menjelaskan bahwa budaya bukan sekadar warisan, melainkan cara kita berinteraksi dengan orang lain setiap hari.
Kegiatan seni apa yang membuat saya terkesima hari itu?
Di sela-sela keramaian, sekelompok seniman muda mengajak pengunjung untuk ikut melukis mural di tembok gedung kosong dekat balai komunitas. Aku memberanikan diri menggambar garis-garis tipis, meski terasa kaku di tangan; warna-warna biru, oranye, dan merah tiba-tiba menyingkap batas antara aku dan kota. Mereka mengajari teknik sapuan kuas, bagaimana membuat goresan jadi cerita, bukan sekadar cat. Suara tawa yang lucu muncul ketika aku hampir menempelkan kuas pada jaket teman yang sedang menggambar karakter hewan lucu; kami tertawa, suasana jadi lebih cair, dan aku bisa bernapas lebih lega. Di tengah proses, aku melihat sekelompok orang mendiskusikan makna budaya, bagaimana seni bisa menjadi alat penyembuh luka kecil sehari-hari, dan bagaimana ruang publik bisa menjadi kelas tanpa dinding. Aku juga sempat menelusuri jejaring komunitas pembelajaran di labuca yang mengajak warga belajar sambil bernyanyi; mereka menekankan bahwa pembelajaran bisa datang dari lagu-lagu, permainan, dan latihan yang menyenangkan.
Bagaimana pendidikan non-formal mengubah cara kita melihat dunia?
Sore itu aku ikut sesi workshop kerajinan kulit dan percakapan tentang desain berkelanjutan. Pelatihnya menjelaskan bahwa tidak semua pembelajaran harus berasal dari buku tebal; kadang kita belajar lewat mencoba, mengulang, dan memperbaiki. Aku melihat seorang nenek yang mengajari bagaimana merapatkan jahitan, sementara bocah-bocah yang baru pertama kali mencoba alat-alat membuatku tersenyum karena mereka terlalu bersemangat. Di kelas terbuka itu aku merasakan suasana hangat, seperti melihat komunitas yang tidak terlalu peduli status, ras, atau latar belakang; semua orang hadir untuk saling mendukung. Papan putih di belakang berisi kata-kata sederhana: belajar itu soal keberanian mencoba dan kesabaran menunggu hasil. Saat senja makin redup, aku menutup buku catatan dengan lembut, merasa bahwa pembelajaran non-formal bukan sekadar memfasilitasi keterampilan, melainkan menguatkan rasa ingin tahu kita sebagai manusia.
Momen lucu dan pelajaran kecil selama menjelajah?
Malam semakin larut, dan momen terakhir yang cukup unik adalah saat kami bermain permainan hening yang menuntut kita mendengarkan suara sekitar. Aku tertawa karena salah dengar pola ritme yang harus diikuti, membuatku menari tanpa sengaja seperti sedang freestep di lantai kayu. Ada sepatu yang terpeleset, lalu tertolong oleh tangan teman; kami tertawa lagi, malu-malu, sambil melanjutkan permainan. Kami juga menatap langit kampung yang berpendar lembut oleh lampu-lampu kota, merasakan bagaimana suasana bisa mengubah cara kita belajar. Rasanya aku membawa pulang bukan hanya foto, tetapi juga semangat untuk mencoba hal-hal baru saja—membiarkan diri terbuka pada cara-cara non-formal berbagi pengetahuan dan pengalaman.
Pulangnya aku merapikan tas, menahan kantuk, dan tersenyum pada diri sendiri karena hari itu berjalan tanpa rencana baku, hanya dengan rasa ingin tahu. Budaya, seni, dan pendidikan non-formal nyata hadir di sekitar kita—tanpa perlu acara besar; cukup dengan melangkah keluar rumah, mendengar, dan mencoba. Esok mungkin kita akan berjalan lagi, dengan cerita baru yang siap menunggu untuk dihadapi.