Beberapa tahun terakhir aku belajar bahwa budaya dan seni tidak hanya soal pesta atau pameran, melainkan cara hidup: bagaimana kita melihat dunia, bagaimana kita meresapi waktu, bagaimana kita berinteraksi dengan orang-orang sekitar. Aku tumbuh di kota yang tidak terlalu besar, tetapi di sana aku menemukan potongan-potongan budaya yang membuatku merasa punya tempat. Pasar malam dengan musik tradisional, koridor sekolah yang penuh poster pertunjukan teater indie, dan teman-teman yang mempraktikkan tari tradisional di halaman belakang rumahnya—semua itu menjadi bagian dari ritme harian. Pendidikan non-formal, seperti lokakarya tari, kelompok musik, atau klub teater komunitas, kemudian membuka pintu untuk belajar tanpa menunggu pengumuman resmi. Aku suka menuliskannya sebagai kisah sederhana tentang bagaimana aku belajar, bukan sebagai laporan akademik. Karena bagiku, belajar itu berjalan sambil bernapas: kadang beberapa kalimat, kadang satu gerak saja yang cukup mengubah cara kita melihat dunia.
Mengapa Budaya Menjadi Bagian Hidupku?
Keluarga dan lingkungan mengajari aku cara menghormati ritual kecil: ziarah singkat ke tempat ibadah keluarga, mendengar gamelan dari tempat tinggal tetangga, menonton tari sederhana di alun-alun. Budaya bukan hanya warisan; ia memberi kerangka untuk bertanya, menguji, dan merayakan perbedaan. Suatu sore di musim hujan, aku mengikuti parade kecil yang melibatkan penari, penyabet bambu, dan bocah-bocah yang berpendapat tentang musik yang seharusnya dimainkan. Di sana aku belajar mendengarkan: bagaimana satu nada bisa menyelamatkan ritme kelompok, bagaimana jeda bisa membuat suasana jadi lebih hidup. Budaya membumi: ia mengikat kita pada akar, tetapi juga mendorong kita untuk menantang diri sendiri. Kegiatan budaya memberi identitas, tetapi juga tanggung jawab: untuk menjaga cerita orang lain, untuk menuliskannya dengan bahasa kita sendiri, dan untuk membuka pintu bagi mereka yang belum pernah masuk ke dalam lingkaran.
Apa Yang Aku Pelajari dari Seni?
Di studio kecil, aku belajar bahwa seni bukan sekadar teknik; ia adalah bahasa untuk mengekspresikan yang tak bisa diucapkan. Saat aku mencoba melukis dengan kuas sederhana, aku menemukan bahwa kesalahan bisa jadi bagian dari karya; sebuah garis miring bisa menyampaikan gerak. Di panggung teater komunitas, aku belajar berperan, menerima masukan, dan merangkul disiplin tanpa kehilangan spontanitas. Layar film pendek yang kami buat bersama teman mengajari aku bagaimana alur cerita bisa membentuk empati. Aku tidak selalu berhasil, tetapi setiap kali ada penonton yang tersentuh, aku merasa perjalanan ini berharga. Seni mengajari kita sabar: proses menunggu hasil dari latihan, menerima kritik dengan hati yang terbuka, dan membangun kepercayaan antar sesama. Yang paling penting, seni mengingatkan kita bahwa keaslian tidak harus selalu sempurna; yang kita tunjukkan adalah manusia yang berusaha.
Pendidikan Non-Formal: Belajar di Luar Sekolah Formal
Ketika sekolah formal menatap layar rapat kurikulum, aku menemukan pembelajaran yang lebih cair di luar ruang kelas. Lokakarya tari, klub sastra komunitas, serta festival film pendek memberi aku kesempatan untuk belajar lewat praktik langsung, bukan lewat teori belaka. Aku belajar merencanakan projek, membagi tugas, mengelola waktu, dan menghargai pendapat orang lain yang berbeda latar belakang. Kadang kita mengubah rencana di menit-menit terakhir; kadang kita terlambat hadir karena transportasi kota yang sibuk. Tapi tidak ada rasa malu, justru itu bagian dari proses. Mendengar mentor membagikan pengalaman hidup mereka membuat pelajaran terasa nyata: bagaimana menjaga kualitas gerak, bagaimana menulis naskah sederhana, bagaimana mempersiapkan presentasi publik. Pendidikan non-formal memberiku ruang untuk gagal dengan aman, mencoba lagi, dan akhirnya menemukan kepercayaan diri yang tidak selalu datang dari nilai ujian. Beberapa inisiatif seperti labuca memudahkan akses ke mentor, materi lokakarya, dan peluang tampil.
Cerita Sederhana: Satu Sore di Panggung Terbuka
Di satu sore itu, aku berjalan dari rumah menjemput udara segar kota yang menua. Di alun-alun, panggung sederhana berdiri di antara pohon-pohon rindang. Musik tradisional mengalun pelan, para seniman muda saling bertukar peran di detik-detik terakhir, dan penonton dari berbagai latar belakang berkumpul, menyimak dengan antusias. Aku menyaksikan seorang anak kecil mencoba menirukan gerak tari yang sulit, seorang nenek menyimak lagu dengan mata berbinar, seorang pekerja kantoran yang pulang larut merekam momen itu untuk dikenang. Tirai tak lagi menutupi tabir panggung, semua orang tersenyum, meskipun langit mulai meneteskan gerimis. Aku merasakan satu hal yang sederhana namun kuat: budaya dan seni tidak hanya ada di galeri atau museum; di sini, di tempat-tempat biasa, kita belajar saling mendukung, menguatkan satu sama lain, dan membangun komunitas yang menyatukan cerita-cerita berbeda. Aku pulang dengan hati ringan, membawa janji untuk datang lagi, bukan karena kejaran nilai formal, tetapi karena aku ingin menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar daripada diri sendiri.