Kegiatan Budaya dan Seni Non Formal: Pengalaman Belajar di Komunitas

Beberapa tahun terakhir saya menyadari bahwa belajar tidak selalu harus dilakukan di bawah lampu neon kelas formal. Kegiatan budaya dan seni non formal di komunitas justru sering menjadi tempat belajar yang paling manusiawi: penuh eksperimen, diskusi santai, dan kadang-kadang tawa yang meledak di tengah suasana serius. Di sana, saya belajar cara mengikat permainan musik sederhana, bagaimana menari langkah-langkah tari tradisional sambil menjaga napas, hingga memahami bahwa seni adalah bahasa yang bisa dipelajari lewat praktik berulang bersama orang-orang yang sama-sama haus ingin mencoba. Artikel ini bukan panduan baku, melainkan cerita pribadi tentang bagaimana ruang komunitas mengubah cara saya melihat pendidikan dan kebudayaan itu sendiri.

Saya ingat ruang komunitas pertama yang saya kunjungi: sebuah aula kecil dengan lantai kayu yang berderik jika beban berdiri terlalu lama, lampu temaram, dan meja-meja buram bekas merapat di samping dinding. Di sana, kursi lipat berjejer rapi, ada secangkir teh manis yang selalu tersisa setengah, serta senyum orang-orang yang baru pertama kali bertemu namun sudah saling mengerti bahasa karya. Di antara retakan kayu dan aroma kertas gosong saat latihan menulis naskah pendek, saya merasakan sebuah gairah belajar yang tidak pernah saya temui di sekolah formal. Ada rasa ingin tahu yang dipupuk lewat percakapan kecil, bukan jeda panjang antara modul dan ujian. Itu suasana yang membuat saya ingin kembali, bukan karena target nilai, tetapi karena proses belajar itu sendiri terasa hidup.

Apa bedanya belajar budaya di komunitas dibanding kelas formal?

Perbedaan paling nyata mungkin terletak pada struktur dan arah tujuannya. Di kelas formal, kita sering mengikuti kurikulum yang telah ditetapkan, dengan tugas, rubrik, dan evaluasi yang menambah tekanan. Sedangkan di komunitas budaya non formal, fokusnya lebih pada proses: bagaimana kita saling menyimak, memberi masukan dengan empati, dan akhirnya menghasilkan produk bersama—entah itu pertunjukan singkat, mural komunitas, atau workshop batik sederhana. Ketika saya belajar tari tradisional, misalnya, guru tidak sekadar mengajari langkah, tetapi membimbing kami meresapi ritme budaya, memahami konteks makna gerak, hingga bisa menyesuaikan diri dengan dinamika kelompok. Kelas formal bisa menuntun kita ke kedalaman teori, tetapi di sini kedalaman itu muncul lewat praktik bersama, lewat pengalaman yang dipikul bersama.

Ruang komunitas juga memberi kebebasan lebih untuk gagal dengan aman. Jika tempo salah dalam tarian, kita tertawa bareng, mencoba lagi tanpa rasa malu membanjiri. Jika cat kering terlalu cepat saat membuat mural, kita saling bantu mengikis sedikit bekas noda dan melanjutkan karya. Ada semangat kolektif yang membuat setiap orang merasa menjadi bagian dari sebuah cerita, bukan hanya peserta ujian harian. Ketika tidak ada nilai yang menunggu di ujung jalan, motivasi kita jadi tumbuh karena kita ingin karya itu selesai karena kita peduli pada orang lain yang ikut merasakannya.

Bagaimana praktik langsung membentuk rasa percaya diri?

Praktik langsung menghadirkan risiko yang nyata: tampil di depan sesama anggota komunitas, mencoba alat musik baru, atau merias panggung kecil dengan perlengkapan seadanya. Awalnya saya kikuk, napas tercekat, tangan bergetar saat memegang koreografi atau gulungan kain batik. Namun perlahan, dengan umpan balik yang jujur dan penuh kasih, rasa percaya diri tumbuh. Saya mulai bisa mengusai satu gerak tarian tanpa terlalu banyak berpikir, lalu berani mengubah ritme sesuai respons kelompok. Pengalaman itu tidak hanya mengubah cara saya menari, tetapi juga bagaimana saya berbicara di depan orang banyak: tidak lagi terlalu fokus pada kesempurnaan, lebih pada kehadiran dan keaslian diri di atas panggung kecil komunitas.

Di momen-momen santai setelah latihan, ada satu kejadian kecil yang membuat saya tertawa hingga perut kram. Ketika seorang teman mencoba memimpin lagu dengan gitar yang suaranya mirip detik jam yang miskin nada, seluruh kelompok menenangkan diri dengan tertawa pelan, lalu kita melanjutkan dengan versi yang lebih “aku suka ini” tanpa terlihat malu. Tawa itu, bagiku, adalah tanda bahwa kita telah membangun ruang aman. Ruang di mana kegagalan adalah bagian dari proses belajar, bukan alasan untuk berhenti. Dan percaya diri tidak datang dari sempurna, melainkan dari konsistensi mencoba lagi sambil menjaga hubungan baik dengan sesama murid.

Apa saja materi yang dipelajari di non-formal komunitas?

Materinya sangat beragam karena budaya dan seni sendiri luas, tetapi inti dari pembelajaran non-formal di komunitas biasanya berputar pada keterampilan praktis, kolaborasi, dan literasi budaya. Kita bisa belajar batik lewat proses menggambar motif, membatik dengan alat sederhana, hingga memahami filosofi warna dan pola yang bermakna. Kita juga sering menggali teater improvisasi, pembuatan naskah singkat, serta teknik pementasan yang mempertimbangkan ruang, suara, dan interaksi dengan penonton. Selain itu, ada sesi refleksi yang membantu kita menyusun kritik membangun terhadap karya teman, tanpa merendahkan upaya mereka. Belajar non-formal di komunitas mengajarkan kita bagaimana menata sebuah karya dari ide hingga produk akhir dengan bantuan tim, bukan kerja seorang diri.

Salah satu bagian yang membuat saya terus kembali adalah bawah sadar kita diajak memahami konteks budaya tempat kita berada. Misalnya, saat belajar tari tradisional, tidak sekadar menghafal gerak, tetapi menelusuri makna di balik setiap langkah, bagaimana gerak itu pernah menggambarkan cerita komunitas setempat. Ada juga momen kecil ketika kita membuat poster acara bersama: tinta mengotori tangan, cat menetes di lengan yang tidak sengaja, dan akhirnya kita tertawa karena poster kita ternyata lebih lucu daripada rencana awal. Dan ya, dalam setiap sesi, ada secarik pelajaran tentang cara menghargai karya orang lain, meskipun kita tidak sepakat pada beberapa bagian—itu pelajaran penting untuk membangun budaya menghargai perbedaan di tengah kelompok.

Bagaimana menjaga semangat komunitas agar tetap hidup?

Kunci utamanya adalah keterlibatan berkelanjutan dan rasa memiliki. Komunitas yang sehat biasanya mengadakan pertemuan rutin, galeri mini karya peserta, serta acara sharing yang tidak terlalu formal. Ada juga budaya potluck, di mana setiap orang membawa sesuatu untuk dinikmati bersama—momen sederhana seperti itu sering menjadi agen penghubung antara generasi, latar belakang, dan minat yang berbeda. Ketika kita merayakan setiap kemajuan sekecil apa pun, semangat itu bisa bertahan meski anggaran terbatas atau jadwal padat datang silih berganti. Yang penting adalah konsistensi kehadiran, empati dalam memberi kritik, dan ruang untuk mengekspresikan diri tanpa rasa takut dihakimi.

Saya sering berpikir bahwa komunitas budaya dan seni non formal adalah tempat latihan hidup kita. Kita belajar bagaimana berkomunikasi lewat gerak, warna, dan suara; bagaimana merawat karya sendiri dan karya orang lain; serta bagaimana menumbuhkan rasa ingin tahu yang tidak pernah berhenti. Akhirnya, belajar di komunitas bukan hanya soal menguasai teknik, melainkan membangun jaringan empati yang akan bertahan lama melebihi satu proyek atau satu pertunjukan. Dan jika suatu saat Anda merasa tidak yakin, coba cari ruang kecil yang memungkinkan Anda menaruh jiwa ke dalam karya bersama. Itu bisa jadi awal dari perjalanan belajar yang jauh lebih luas daripada yang pernah Anda bayangkan. labuca

Kunjungi labuca untuk info lengkap.