Pengalaman Belajar di Kegiatan Budaya dan Seni Lewat Pendidikan Non-Formal

Apa itu pendidikan non-formal dan bagaimana ia mengubah cara kita belajar budaya?

Belakangan aku sedang menyadari bahwa belajar budaya dan seni tidak harus lewat sekolah formal. Pendidikan non-formal datang sebagai rangkaian workshop singkat, pertemuan di akhir pekan, dan kunjungan ke ruang-ruang budaya yang tidak kaku. Aku bergabung dengan beberapa komunitas lokal yang membagi pengetahuan lewat praktik langsung: membatik, menari, teater jalanan, atau pengisahan cerita rakyat. Di situ aku tidak lagi duduk memikirkan nilai akhir, melainkan fokus pada proses: bagaimana ide tumbuh, bagaimana tangan belajar merangkai motif, bagaimana kita semua belajar menjaga ritme satu sama lain.

Suasananya santai tapi fokus. Guru-guru tidak mengampu dengan formula, melainkan membisikkan cara melihat budaya lewat bahasa kita sendiri. Mereka mendorong kita untuk bertanya, mencoba, gagal, lalu mencoba lagi tanpa merasa malu. Aku jadi punya ruang untuk menyatakan pendapat, meski nada suaraku sering tercekat di awal. Ketika senja menelan aula gradasi warna hangat, aku merasa ada ikatan antara jari-jemari kami, cerita-cerita yang saling mengalir, dan musik latar yang bikin dada berdegup pelan. Aku juga merasa bahwa pelajaran ini menantang cara kita memaknai tradisi: tidak semua harus kaku, kita bisa menafsirkannya lewat gaya kita sendiri. Kadang aku pulang dengan kepala yang penuh gambaran motif baru yang penggalnya masih terlilit kata-kata di kepala, tapi hatiku lebih tenang daripada biasanya.

Di balik layar kegiatan seni: dari latihan hingga ekspresi

Latihan dimulai dari hal-hal kecil: peregangan, napas, lalu gerak yang perlahan membentuk pola. Lantai kayu berderit, kipas murahan berputar pelan, dan aku bisa mencium sisa parfum kreasi batik yang belum sempat hilang. Guru mencontohkan dengan tenang, kadang tertawa saat kita salah melangkah, tapi tidak pernah menghakimi. Dari sana aku belajar bahwa ekspresi bukan soal sempurna, melainkan kejujuran dalam menampilkan bagian diri yang ingin kita sampaikan melalui kain, langkah, atau bayangan panggung kecil. Kau pun akan melihat apron berwarna cokelat tua tergantung, serta botol-botol tinta yang berwarna-warni menunggu giliran.

Yang paling berkesan adalah momen ketika warna bertemu motif. Aku melihat bagaimana campuran warna bisa menyalakan ingatan—merah seperti matahari sore di sawah, biru seperti langit yang tenang setelah hujan. Ada satu kejadian lucu: aku menggulung kain terlalu cepat, lalu bagian motif berkelindan sehingga tampak seperti gurita kecil yang malu-malu muncul di tepi kain. Semua orang tertawa, lalu kami kembali mencoba lagi dengan senyum. Tawa-tawa kecil itu menguatkan semangat kami untuk tidak menyerah pada kesulitan teknis. Kami juga belajar menulis catatan refleksi singkat selepas setiap sesi, untuk mengikat pengalaman dengan kata-kata, bukan hanya gambar.

Seberapa besar peran suasana komunitas dalam pelajaran budaya?

Komunitas adalah denyut nadi pelajaran ini. Ada obrolan ringan sebelum kelas dimulai, ada cemilan yang dibawa teman, ada ruang diskusi setelah latihan tentang bagaimana budaya daerah bisa hidup lagi di kota kita. Kritik yang kita berikan pada karya teman terasa sebagai bumbu yang menambah rasa tanpa membuat kata-kata menjadi pedas. Kita belajar memberi dukungan, bukan mendikte, dan itu membuat semua orang berani menunjukkan karya mereka, meskipun belum sempurna. Di sela-sela itu, aku sering merasa bahwa suasana hangat membuat kita saling percaya dan ingin menunjukkan versi diri kita yang lebih jujur.

Di akhir program, ada pameran kecil yang mengundang keluarga, tetangga, dan teman-teman. Senyum mereka menambah semangat kita, meski ada potongan kain yang salah ukuran atau pola yang tidak selaras dengan ekspektasi pribadi. Aku merasa ruang-ruang publik itu jadi tempat menemukan identitas kita bersama, bukan sekadar menampilkan produk. Dan di tengah keramaian itu, aku sadar besar manfaatnya: kita belajar saling mendengar, merayakan perbedaan, dan membangun rasa percaya lewat seni. Di sela-sela obrolan, aku juga menemukan sumber inspirasi lewat labuca, sebuah komunitas yang membuat budaya terasa dekat dan relevan dengan keseharian kita.

Apa yang saya pelajari tentang diri sendiri lewat seni dan budaya?

Yang paling nyata adalah sabar. Proses membatik, melatih tarian, atau menata teater mini mengajarkan aku menunda kepuasan, menunggu detail akhir tanpa mengeksekusi terlalu cepat. Aku juga belajar berani tampil ke depan, meski gemetar, karena ada orang-orang yang menanti karya kita. Pendidikan non-formal memberikan ruang untuk tumbuh tanpa tekanan nilai, hanya dorongan untuk terus mencoba dan belajar dari orang-orang di sekitar. Kadang aku juga mengajar diri sendiri untuk melangkah lebih lambat saat diperlukan, agar detailnya tidak terlewat.

Selain itu, aku mulai melihat budaya sebagai percakapan sehari-hari, bukan beban sejarah yang kaku. Setiap motif, setiap gerak, adalah bahasa yang bisa dipahami jika kita mendekatinya dengan hati. Pelajaran ini mengajari aku untuk lebih peka terhadap perasaan orang lain, lebih gesit menyesuaikan diri dengan konteks, dan lebih menghargai proses kebersamaan. Dan meskipun karya-karyaku mungkin belum sempurna, aku pulang dengan rasa puas karena telah mengekspresikan diri dengan autentik. Jika suatu hari aku kehilangan arah, aku ingat bagaimana satu tarikan napas bersama di aula kecil bisa mengembalikan arah itu dengan lembut.